Sabtu, 29 Oktober 2016

Tata Laksana Terapi Insomnia

Insomnia merupakan gangguan kesulitan tidur pada malam hari, hal ini seringkali disebabkan oleh perasaan takut, cemas, atau tidak mampu tertidur pada waktu tidur. Seperti yang diulas pada artikel sebelumnya, insomnia merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu penyakit, maka terapi yang diberikan adalah secara simptomatik. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri. Terapi yang bisa dilakukan adalah:


Terapi Non-farmakologi
Prinsip terapi ini yaitu memanajemen termasuk mengidentifikasi penyebab insomnia, mendidik tentang tidur yang sehat, mengelola stress, pemantauan untuk gejala mood, dan mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu. Pertama-tama dilakukan pendekatan umum yang mencakup perilaku dan intervensi yang dapat membantu terapi meliputi; terapi relaksasi, terapi kontrol stimulus, terapi kognitif, pembatasan tidur, dan edukasi mengenai tidur yang sehat (Wells et al, 2015).
1. Prosedur pengendalian stimulus 

  • Menetapkan waktu yang teratur untuk bangun dan pergi tidur (termasuk akhir pekan 
  • Tidur hanya sebanyak yang diperlukan untuk beristirahat. Tidur dilakukan hanya bila mengantuk.
  • Hindari waktu yang lama terjaga di tempat tidur. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur; tidak membaca atau menonton televisi di tempat tidur 
  • Hindari mencoba untuk memaksa tidur; jika tidak tertidur dalam waktu 20-30 menit, tinggalkan tempat tidur dan lakukan kegiatan santai (misalnya membaca, mendengarkan musik, atau menonton televisi) sampai mengantuk. Diulangi sesering yang diperlukan
  • Hindari tidur siang.  
  • Jadwalkan kegiatan pada siang hari. Jangan memikirkan masalah bila akan tidur

2. Tidur yang Sehat
  • Latihan rutin (3-4 kali seminggu) tapi tidak dekat dengan waktu tidur karena hal ini dapat meningkatkan terjadinya terjaga pada waktu tidur
  • Ciptakan lingkungan tidur yang nyaman dengan menghindari suhu ekstrem dan suara keras di kamar tidur 
  • Hentikan atau mengurangi penggunaan alkohol, kafein, dan nikotin 
  • Hindari konsumsi cairan dalam jumlah besar di malam hari untuk mencegah ke kamar kecil 
  • Lakukan sesuatu yang santai dan menyenangkan sebelum tidur

Terapi Farmakologi
Manajemen terapi insomnia awalnya didasarkan kepada jenis insomnia yang dialami individu (transient, jangka pendek, atau kronis). Riwayat klinis harus menilai onset, durasi, dan frekuensi gejala, efek pada aktivitas di siang hari, kebiasaan tidur, dan riwayat gejala sebelumnya atau pengobatan. Contoh obat yang dapat digunakan untuk mengatasi insomnia:
  • Antihistamin (Diphenhydramine, doxylamine, dan pyrilamine), kurang efektif dibandingkan benzodiazepin, tetapi efek samping biasanya minimal. 
  • Antidepresan adalah alternatif yang baik untuk pasien yang seharusnya tidak menerima benzodiazepin, terutama mereka yang depresi atau riwayat penyalahgunaan zat. 
  • Amitriptyline, doksepin, dan nortriptyline efektif, namun efek samping termasuk efek antikolinergik, blokade adrenergik, dan perpanjangan konduksi jantung. 
  • Trazodone, 25 sampai 100 mg, sering digunakan untuk insomnia yang disebabkan oleh selective serotonin reuptake inhibitor atau bupropion dan pada pasien rentan terhadap penyalahgunaan zat. Efek samping termasuk sindrom serotonin (bila digunakan dengan obat serotonergik lainnya), oversedation, α-adrenergik blocade, dan pusing. 
  • Ramelteon adalah melatonin agonis reseptor selektif untuk reseptor MT1 dan MT2. Dosisnya adalah 8 mg pada waktu tidur. Dapat ditoleransi dengan baik, tetapi efek samping termasuk sakit kepala, pusing, dan mengantuk. Efektif untuk pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dan sleep apnea. 
  • Produk herbal OTC. 
  • Benzodiazepine agonis reseptor (Flurazepam, Triazolam), adalah obat yang paling umum digunakan untuk insomnia. Namun perlu hati-hati terhadap reaksi anafilaksis, angioedema wajah, perilaku tidur yang kompleks (misalnya, tidur mengemudi). Golongan ini termasuk nonbenzodiazepine γ-aminobutyric acid (GABA A) agonis dan benzodiazepin, yang juga mengikat GABA A. Benzodiazepin memiliki efek sedatif, anxiolytic, relaksan otot, dan antikonvulsan. Benzodiazepin meningkatkan tahap 2 pada tidur, penurunan REM dan gelombang delta.

Sumber:
Wells, G. Barbara, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook, 9th edition. New York: McGrawHill
 

1 komentar: