Kebanyakan masyarakat berasumsi bahwa tidak bisa tidur
adalah insomnia. Padahal sebenarnya kategori gangguan tidur tidak hanya
meliputi insomnia. Gangguan tidur lainnya antara lain hipersomnolence,
narkolepsi, gangguan tidur terkait pernafasan, dan lain-lain. Well, kita dari
sekian banyak gangguan tidur, yang akan kita bahas kali ini adalah Insomnia.
Insomnia |
Apa itu insomnia?
Insomnia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi suatu gejala. Gejala insomnia meliputi
kesulitan tidur pada malam hari, hal ini seringkali disebabkan oleh perasaan
takut, cemas, atau tidak mampu tertidur pada waktu tidur. Insomnia secara
subyektif ditandai sebagai keluhan sulit tidur, kesulitan mempertahankan tidur,
atau tidur yang tidak nyaman dan tidak menyegarkan.
Batasan insomnia
Insomnia dibagi menjadi dua yaitu insomnia akut dan kronis. Insomnia akut
berlangsung dua atau tiga malam, misalnya karena jet lag, biasanya sebagai
insomnia sementara. Keluhan insomnia akut ini biasanya sembuh dalam waktu
kurang dari 3 minggu. Insomnia baru dianggap kronis apabila berlangsung lebih
dari 1 bulan. Kesulitan tidur ini bisa menyangkut lamanya waktu tidur
(kuantitas), atau kelelapan (kualitas) tidur. Insomnia dapat mempengaruhi
pekerjaan, aktivitas sosial dan status kesehatan penderitanya karena
menyebabkan kelelahan pada siang hari atau mengantuk (Dipiro et al, 2008;
Hidayah dan Alif, 2016).
Epidemiologi
Insomnia merupakan keluhan gangguan tidur yang paling umum dalam praktik medis.
Suatu survey di Singapura menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke
dokter umum mengeluhkan gejala insomnia. Penelitian di Amerika menyebutkan
40-70 juta penduduk Amerika mengalami insomnia intermiten dan 10% hingga 20%
penduduk terkena insomnia kronis. Di Indonesia, prevalensi gangguan tidur
sekitar 10% yang berarti 28 juta orang dari total 238 juta penduduk Indonesia
menderita insomnia (Hirshkowitz et al, 2009; Amir, 2010; Bluestein et al,
2010).
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi insomnia yaitu faktor fisik, faktor lingkungan, gaya
hidup, dan faktor psikologis. Insomnia biasanya dimulai pada awal atau
pertengahan usia dewasa dan jarang terjadi pada anak atau remaja. Lebih dari
50% orang mengalami insomnia selama hidup mereka. Meskipun orang dewasa muda
lebih mungkin untuk mengeluh mengalami kesulitan tidur, orang dewasa setengah
baya dan lanjut usia lebih mungkin mengeluh terbangun tengah malam atau bangun
terlalu pagi.
Wanita
mengeluh insomnia dua kali lebih sering daripada laki-laki. Pada wanita
premenopause sekitar 40-50 tahun ke atas, salah satu gejala pada masa
premenopause adalah insomnia. Individu yang sudah lanjut usia, pengangguran,
duda atau janda, dan orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah mengalami
insomnia lebih tinggi secara signifikan daripada populasi umum. 40% individu
dengan insomnia juga memiliki gangguan kejiwaan (kecemasan, depresi, atau
penyalahgunaan zat) (Dipiro et al, 2008; Hidayah dan Alif, 2016).
Penyebab Insomnia
Insomnia primer dianggap sebagai gangguan endogen yang disebabkan oleh baik
gangguan kimia atau fisik yang mempengaruhi siklus tidur. Individu dengan
insomnia primer mudah terbangun oleh suara, suhu, atau kecemasan. Insomnia
sekunder didefinisikan secara historis sebagai insomnia yang disebabkan oleh
penyakit medis dan psikiatris lainnya, penggunaan obat-obatan atau gangguan
tidur primer lainnya. Penyebab insomnia tercantum pada tabel berikut ini:
Tabel: Penyebab
Insomnia
Situasional
- Kerja atau stres keuangan
- Peristiwa besar dalam hidup
- Konflik antarpribadi
-Jet lag atau kerja shift
Medis
-
Kardiovaskular (angina, aritmia, gagal jantung)
- Pernapasan
(asma, sleep apnea)
- Sakit
kronis
- Gangguan
endokrin (diabetes, hipertiroidisme)
-
Gastrointestinal (gastroesophageal reflux disease, borok)
- Neurologis
(delirium, epilepsi, Parkinson)
- Kehamilan
|
Psikiatrik
- Gangguan
mood (depresi, mania)
- Gangguan
kecemasan (misalnya, gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif)
-
Penyalahgunaan zat (alkohol atau penarikan obat penenang-hipnotik)
Induksi Farmakologi
- Antikonvulsan
- Adrenergik sentral
- Diuretik
- Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
- Steroid
- Stimulan
|
Patofisiologi
Siklus tidur dibagi menjadi dua fase: nonrapid eye movement (NREM) dan rapid
eye movement (REM) (Dipiro, 2008).
Manusia biasanya memiliki 4-6 siklus NREM dan REM setiap
malam, setiap siklus berlangsung 70-120 menit. Biasanya terjadi progress
melalui empat tahap NREM sebelum periode REM pertama.
- Tahap NREM adalah tahap antara terjaga dan tidur, gelombang otak adalah gelombang theta. Tahap 3 dan 4 adalah gelombang delta (slow-wave sleep). Pada tahap NREM aktivitas otak akan menurun dibandingkan saat dalam keadaan sadar. Sistem parasimpatis dominan pada fase ini yang menyebabkan penurunan tekanan darah, frekuensi nafas, fungsi ginjal, suhu dan konsumsi energi dan basal metabolic rate (BMR). Semakin lanjut tahapnya semakin lambat frekuensi gelombang otak
- Tidur REM melibatkan perubahan fisiologis dari tidur NREM. Pada fase REM saraf simpatis menjadi lebih aktif, sehingga terjadi peningkatan dan ireguleritas denyut nadi dan frekuensi nafas. Tanda khas fase REM adalah gelombang beta. Pada tidur REM terdapat amplitudo rendah, peningkatan aktivitas penghantaran elektrik dan metabolisme, peningkatan aliran darah otak dari 62% menjadi 173%, vivid-dreaming, dan fluktuasi tingkat pernapasan dan jantung. Mimpi pada manusia terjadi pada fase ini dan terjadi peningkatan ambang rangsang sensori agar dapat bangun (maksudnya fase tidur nyeyak susah banget bangun). Tubuh tidak dapat bergerak karena terjadi inhibisi gerakan otot dan tonus otot yang menurun (atonia), namun untuk otot mata terdapat perkecualian, pada fase ini malah mata aktif bergerak-gerak (makanya disebut fase rapid eye movement). Walau otak sangat aktif tetapi tubuh seakan-akan lumpuh (a active brain in paralyzed body). Tidur REM diaktifkan oleh sel kolinergik. Dopamin memiliki efek siaga. Zat kimia pada saraf yang terlibat dalam efek terjaga antara lain norepinefrin dan asetilkolin di korteks, histamin serta neuropeptida (Dipiro et al, 2008; Wells, et al, 2015)
Pada pasien insomnia, terjadi gangguan pada siklus REM ataupun NREM akibat
stress, induksi zat kimia, atau penyebab lainnya yang mengakibatkan pasien
terbangun pada tengah malam atau bangun tidur terlalu pagi. Gangguan ini
dikaitkan dengan keadaaan hyperarousal dimana terjadi peningkatan level
kewaspadaan seseorang dan menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme di
dalam tubuh di malam hari yang menimbulkan kesulitan tidur. Hal ini diperkuat
dengan penelitian yang hasilnya menunjukkan adanya peningkatan body metabolic
rates yang lebih tinggi pada penderita insomnia bila dibandingkan orang normal
(Permana, 2015).
Manifestasi Klinis
Pasien dengan insomnia mengeluh kesulitan tidur, sulit mempertahankan tidur,
atau sulit memperoleh tidur yang menyegarkan. Insomnia dibagi menjadi sebagai
berikut:
- Transient (dua atau tiga malam) atau akut (<3 minggu) insomnia umum dan biasanya terkait dengan faktor pencetus. Biasanya disebabkan lingkungan yang spesifik atau peristiwa sosial, seperti kerja shift, kematian orang yang dicintai, perjalanan lewat udara, kebisingan dan mungkin lebih tepat ditangani dengan menangani stres dan menangani insomnia secara langsung
- Insomnia kronis (> 1 bulan) mungkin berkaitan dengan obat, gangguan tidur intrinsik, insomnia primer atau kondisi medis dan psikiatris yang kronis dan mungkin membutuhkan evaluasi lebih lanjut (termasuk penilaian kondisi komorbiditas) untuk menentukan pengobatan yang tepat.
Pemeriksaan
Pada pasien dengan gangguan tidur kronis, evaluasi
diagnostik meliputi pemeriksaan fisik dan status mental, tes laboratorium
rutin, obat-obatan, dan riwayat penyalahgunaan zat (Ghaddafi, 2013; Wells et
al, 2015).
Sumber:
Amir, N. 2010. Tata Laksana Insomnia, dalam: Hidayah, Nur
dan Hilmi Alif. 2016. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Terjadinya Insomnia
Pada Wanita Premenopause Di Dusun Ngablak Desa Kedungrukem Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik. Jurnal Ilmiah Kesehatan:Vol. 9, No. 1
Bluestein, Daniel, Carolyn M. Rutledge, Amanda C. Healey.
2010. Psychosocial Correlates of Insomnia Severity in Primary Care. JABFM. Vol
23 No.2
Dipiro, Joseph T., et al. 2008. Pharmacology, A
Pathophysiologic Approach 7th edition. New York: McGrawHill
Hidayah, Nur dan Hilmi Alif. 2016. Hubungan Tingkat
Kecemasan Dengan Terjadinya Insomnia Pada Wanita Premenopause Di Dusun Ngablak
Desa Kedungrukem Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Jurnal Ilmiah
Kesehatan:Vol. 9, No. 1
Hirshkowitz, Max, Rhoda G. Seplowitz-Hafkin, Amir
Sharafkhaneh. 2009. Sleep Disorders. In: B.J. Sadock, M.D.,Virgina Alcott
Sadock, M.D., Pedro Ruiz, M.D. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry Volume II. 9th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
Ghaddafi, Muammar. 2013. Tatalaksana Insomnia
dengan Farmakologi atau Non-Farmakologi. Denpasar: SMF Ilmu Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar
Permana, M.G. Cahyadi. 2015. Insomnia dan Hubungannya terhadap Faktor Psikososial pada Pelayanan Kesehatan Primer. Denpasar: SMF Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar
Wells, G. Barbara, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook, 9th edition. New York: McGrawHill
0 komentar:
Posting Komentar